tepat frkwensi 432
Berhentilah merusak otak dengan mendengarkan musik
berkualitas sampah. Bukan musiknya, tetapi kualitas suaranya.
YouTube memang lengkap, dibandingkan layanan penyedia musik
lain, tetapi saya kesulitan membuat playlist lagu di YouTube. Orang upload
lagu, sering dengan kualitas (bit rate dan frekuensi) yang variatif. Ribet
kalau harus download kemudian menormalkan (to equalize) lagu-lagu itu. Pembajak
dan orang yang nggak ngerti musik, sama-sama bersaing demi traffic.
Salah satu kesukaan saya, mendengarkan dan bikin playlist
lagu di Spotify. Saya memakai aplikasi “Player 432” di Android, agar dapat
suara bagus, nggak kebanyakan desis. Agak mirip suara kaset.
Suara langsung mengarah ke otak. Pendengaran itu salah satu
indera utama yang tidak boleh diabaikan. Kadang, kualitas suara lebih penting
daripada isinya. Anak kecil, gamelan tanpa pengeras suara, atau gitar yang
distel pada frekuensi tepat, atau suara alam, bisa menenangkan. Biarpun rekaman
ombak atau ceramah agama, kalau kualitas suaranya nggak bagus, tetap saja nggak
enak didengarkan.
Cara orang berlainan. Ada baiknya kamu periksa playlist dan
koleksi lagu. Atau belajar sound editing. Seperti apa kualitas lagu yanh kamu
dengarkan, berpengaruh secara langsunh pada pikiran.
Biarpun saya bisa stem gitar berdasarkan ingatan saya
tentang nada, saya lebih suka memakai aplikasi Android.
A=440Hz. Artinya, senar bernada A, punya getaran 440 per
detik. Ini bisa memakai perangkat tuning elektronik atau dengan telinga.
Frekuensi 432Hz, kalau kamu cari info di Google, dianggap
lebih menenangkan, karena selaras dengan suara alam, baik untuk pikiran, dll.
Sedangkan tuning 440Hz, yang diperkenalkan Josep Goebbels,
Menteri Propaganda Nazi waktu itu, menghasilkan nada yang membuat orang menjadi
cemas ketika mendengarkan.
Segitiga sama sisi yang luas dan kelilingnya sama memiliki
luas persis akar kuadrat 432. Angka ini dikaitkan dengan chakra, patung Buddha
di Gunung Meru, dll.
Orkestra di seluruh dunia terbiasa menyetem ke frekuensi
400-470Hz. Frekuensi 432Hz terasa berbeda karena jarang didengarkan di musik.
Sekarang, ini masalahnya. 432 per detik, kan?
Kalau kamu membaca sejarah jam, dari zaman kuno sampai Abad
Pertengahan, sebenarnya jam dibagi menjadi 2, 3, 4, atau 12 bagian yang sama,
tetapi tidak pernah menjadi 60. Pecahan 1 menit tidak digunakan. Itu artinya, 1
detik tidak sama dengan 1/60 menit.
Kalau dibagi menjadi 1/12 menit, nilai numeriknya pasti
berbeda dari 432. Jadi, definisi yang sekarang tentang 1 detik sama dengan 1/60
menit, dan hubungannya dengan frekuensi 432Hz, itu suatu kebetulan.
Baru pada Abad ke-16, ditemukan: 1 menit sama dengan 60
detik.
Pelacakan ketepatan hitungan detik, berdasarkan rotasi bumi
dan revolusi terhadap matahari, baru pada Abad ke-18.
Tahun 1940-an, para ilmuwan menemukan bahwa kecepatan rotasi
Bumi tidak konstan (karena berbagai efek pasang surut), dan yang kedua akhirnya
didefinisikan-ulang sebagai “durasi periode radiasi 9192.631.770 sesuai dengan
transisi antara keduanya tingkat hyperfine dari keadaan dasar atom Cesium-133”.
Pada masa Sebastian Bach, tidak ada cara standar untuk
menyetel instrumen. Pengaruh lokasi, suhu, dan instrumen mekanis yang aus,
menyebabkan suatu nada tidak distel sebagaimana cara orang sekarang mengatur
nada. Menyetel masih mengingat bunyi nada. Suara nada C atau A, bisa
berbeda-beda.
Tahun 1711 baru kemudian ditemukan garpu tala (tuning fork).
Suara “ting” garpu tala menjadi standar nada dasar.
Memastikan suara yang konsisten dengan garpu tala tidaklah
mudah. Ensemble di wilayah berbeda-beda, menggunakan garpu tala yang
beresonansi pada frekuensi yang berbeda.
Abad ke-19, era inflasi nada dimulai. Cara membedakan nada
pada alat musik berdawai, berdasarkan ketebalan strig. Tebal berarti nada
rendah, tipis berarti nada tinggi. Saat itu, prosedur pembuatan string masih
sulit dan mahal.
Para penyanyi mengaku kesulitan menentukan nada yang kadang
“terlalu tinggi”, terutama ketika berpindah tempat. Ini mirip fenonena yang
dialami para pesinden ketika tampil di tempat yang tadinya memakai gamelan
slendro kemudian tampil dengan iringan gamelan pelog.
Suara mengikuti instrumen, bukan instrumen mengikuti suara.
Para penyanyi pada masa itu, memprotes pemerintah Perancis,
lalu dibuat standar tuning A=435Hz pada tahun 1859. Orkestra dan gedung opera
di Eropa, mengadopsi standar ini. Karena persoalan cuaca, Inggris memakai
A=439Hz.
Pada tahun 1939, diadakan konferensi internasional di
London. Hasilnya: A=440 Hz, sebagai kompromi antara berbagai sistem tuning yang
digunakan pada saat itu. Ada yang memakai standar melebihi 450Hz.
BBC meminta orkestra mereka untuk menyetel ke 440 Hz (bukan
439Hz) karena 439 adalah bilangan prima, dan frekuensi yang sesuai sulit untuk
menghasilkan secara elektronik dengan jam elektronik standar.
Tahun 1955, standar A = 440Hz diadopsi oleh Organisasi
Internasional untuk Standardisasi (ISO).
Hampir semua musik kontemporer yang diproduksi secara
komersial disetel ke A = 440 Hz. Namun demikian, sebagian besar orkestra
simfoni mengabaikan standar dan menyetel ke 441, 442 atau 443 Hz sebagai
gantinya. Sementara orkestra yang mengkhususkan diri dalam musik yang lebih tua
kadang-kadang dapat menggunakan penyetelan yang dekat dengan yang awalnya
ditulis, yang dapat berkisar dari 415 Hz hingga 470 Hz.
Memang, frekuensi 432Hz nggak ada kaitan dengan teori
konspirasi, tetapi lebih enak didengarkan.
Ada kelompok peminat suara dan musik, yang suka efek
“cemas”, ASMR (dengan desahan sebelum tidur), sampai doser untuk jalan-jalan ke
dimensi lain. Selera orang berlainan. Kadang saya juga mencoba itu.
Sadari apa yang kamu lakukan. Hargai waktu dan pikiran kamu
sendiri, dengan mendengarkan musik di frekuensi yang tepat.
Kalau suka 432Hz, dan nggak mau ribet konversi, ada aplikasi
Player 432 yang bisa tuning otomatis, ke frekuensi 432Hz.
Comments
Post a Comment